Purnamasari, Nurul Adliyah and Andika, Saputra (2020) Jejak Kerajaan Gowa. Balai Arkeologi Sulawesi Selatan, Makasar.
|
Image
POSTER-20201-1-1200x650.png - Published Version Available under License Creative Commons Attribution Non-commercial. Download (1MB) | Preview |
Abstract
Kerajaan Gowa atau yang lebih dikenal dengan Kerajaan Makassar pada masa lampau memiliki posisi yang cukup penting, karena menjadi pusat pelayaran dan perdagangan di Nusantara. Bahkan daerah ini menjadi pusat persinggahan pedagang, baik yang berasal dari Indonesia Bagian Timur maupun Indonesia Bagian Barat. Sehingga kemudian Kerajaan Makassar mampu berkembang menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas jalur perdagangan di Nusantara.
Kerajaan Gowa mengalami kemajuan di bidang ekonomi dan politik pada masa pemerintahan Karaeng Tumapa’risi Kallonna, yang kemudian pusat Kerajaan Gowa dipindahkan dari Bukit Tamalate ke Somba Opu. Di sana beliau membangun dermaga yang menjadikan Gowa sebagai Kerajaan Maritim terkenal dan bandar transito. Selain itu, untuk memperkuat pertahanan dan kedudukan istana di Somba Opu, Karaeng Tumapa’risi Kallona memerintahkan untuk membangun sebuah benteng dari tembok tanah yang mengelilingi istana pada tahun 1525. Pada tahun 1605 seorang Raja dari Minangkabau yang dikenal dengan Datu’ri Bandang datang ke Gowa dengan tujuan menyebarkan islam di wilayah tersebut. Sehingga pada tanggal 20 September 1605 Raja Gowa XIV, I Mangerangi Daeng Manrabia menyatakan masuk Islam sehingga beliau mendapat gelar “Sultan Alauddin”. Sebelumnya juga Raja Tallo, Mangkubumi (Perdana Menteri) Kerajaan Gowa I Malingkaang Daeng Manyonri Karaeng Katangka lebih dahulu masuk islam, sehingga bergelar Sultan Abdullah Awalul Islam.
Sejak Ibukota Somba Opu menjadi bandar niaga international yang dirintis oleh Karaeng Tumaparisi Kallona pada abad XV, sebenarnya Bangsa Eropa yang gemar rempah-rempah sudah menjalin hubungan dagang dengan Gowa. Bangsa-bangsa Asing seperti Inggris, Denmark, Portugis, Spanyol, Arab Dan Melayu telah mendirikan kantor-kantor perwakilannya di Somba Opu untuk kepentingan perdagangan. Selanjutnya terjadi penandatangan Perjanjian Bongaya antara pihak Belanda dan Sultan Hasanuddin pada tanggal 18 Nopember 1667, akibatnya terjadi suatu pertempuran dahsyat di bulan juni 1669, yang cukup banyak menelan korban antara kedua pihak, pihak Belanda berusaha merebut benteng utama pertahanan Gowa di Somba Opu. Akhirnya bentengpun berhasil diduduki oleh Belanda 12 Juni 1669.
Perkembangan selanjutnya setelah Sultan Hasanuddin, Raja-Raja Gowa masih terus melakukan perlawanan terhadap Belanda. Bukti gigihnya perlawanan terhadap Belanda adalah sejumlah Raja Gowa, seperti raja gowa XVII Sultan Muhammad Ali (Putera Sultan Hasanuddin) gugur dalam tahanan belanda di Batavia pada tahun 1680. Ketika berakhirnya perang antara Sultan Hasanuddin dengan Belanda, terutama sejak pusat Kerajaan Gowa di Somba Opu hancur, maka sejak itu keagungan Gowa yang berlangsung berabad-abad lamanya akhirnya mengalami kemunduran. Semenjak itu pula penjajahan Belanda mulai tertanam secara penuh di Kawasan Timur Indonesia.
Sistem pemerintahan Gowa pun mengalami tansisi di masa Raja Gowa XXXVI Andi Idjo Karaeng Lalolang, setelah menjadi bagian republik Indonesia yang merdeka dan bersatu, Gowa berubah dari bentuk kerajaan menjadi daerah tingkat II otonom. Sehingga dengan perubahan tersebut, maka Andi Idjo pun tercatat dalam sejarah sebagai raja gowa terakhir sekaligus pula merupakan Bupati Gowa pertama.
Item Type: | Other |
---|---|
Subjects: | Pendidikan > Kebudayaan Pendidikan > Kebudayaan > Arkeologi |
Divisions: | Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan > Pusat Penelitian Arkeologi Nasional > BALAR Sulawesi Selatan |
Depositing User: | Lenrawati Lenrawati |
Date Deposited: | 30 Dec 2020 09:58 |
Last Modified: | 30 Dec 2020 09:58 |
URI: | http://repositori.kemdikbud.go.id/id/eprint/19929 |
Actions (login required)
View Item |